IJTIHAT
MACAM-MACAM
DAN SYARATNYA
Disusun Guna
Memenuhi Tugas
Mata Kuliah
Ushul Fiqih
Dosen Pengampu
: Bapak Zaenal Arifin, M.S.I

Disusun Oleh :
1.
Aida
A (1410110062)
2.
Rois
M (1410110042)
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN
TARBIYAH
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
2015
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Mengingat pentingnya dalam syari’at
Islam yang disampaikan dalam Al-Qur’an dan Assunah, secara komprehensif karena
memerlukan penelaahan dan pengkajian ilmiah yang sungguh-sungguh serta
berkesinambungan.
Akhir-akhir
ini, sebagian cendekiawan islam merasa berhak dan mau berijtihad, tanpa melihat
kesulitan proses ijtihad. Masalah ijtihad sebenarnya bukan masalah mau atau
tidak mau, tetapi persoalan mampu atau tidak mampu. Memaksa orang yang tidak
mampu untuk berijtihad mengundang bahaya, sebab untuk melakukan ijtihad
seseorang harus memenuhi syarat-syarat tertentu yang bisa membawa ke derajat
mujtahid.
Oleh
karena itu, dalam makalah ini akan membahas tentang
ijtihat, macam-macam dan syaratnya.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di
atas maka rumusan masalah dalam makalah ini yaitu :
1. Apa
Pengertian Ijtihat ?
2. Apa
Saja Macam-Macam Ijtihat ?
3. Apa
Saja Bentuk-Bentuk Ijtihad ?
4. Bagaimana
Syarat-Syarat Ijtihat ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Ijtihat
Menurut bahasa,
kata Ijtihat berasal dari bentuk fi’il madi yakni Ijtihada, bentuk fi’il
mudhori’ yaitu yajtahidu, dan bentuk masdar yakni Ijtihadan yang artinya telah
bersungguh-sungguh , mencurahkan tenaga, menggunakan pikiran, dan bekerja
semaksimal mungkin.Secara terminologi (istilah) pengertian Ijtihad adalah suatu
pekerjaan yang mempergunakan segala kesanggupan daya rohani untuk mendapatkan
hukum syara’ atau menyusun suatu pendapat dari suatu masalah hukum yang
bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits.
Ijtihad
dipandang sebagai sumber hukum Islam yang ketiga setelah Al-Quran dan hadis,
serta turut memegang fungsi penting dalam penetapan hukum Islam.
Telah banyak contoh hukum yang dirumuskan dari hasil ijtihad ini.
Orang yang melakukan ijtihad disebut mujtahid. ijtihad tidak bisa
dilakukan oleh setiap orang, tetapi hanya orang yang memenuhi syarat yang boleh
berijtihad. [1]
Ide
ijtihad ini mempunyai dasar pada ayat al-qur’an yang menyatakan:
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا
وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِين
“Dan orang-orang yang berjihad untuk
(mencari keridhaan) Kami. Kami akan tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. Dan
sungguh, Allah beserta orang-orang yang berbuat baik” (QS Al Ankabut: 69).[2]
Ijtihad memiliki garis besar seperti
berikut :
a. ( Pekerjaan)
pengarahan daya pikir sekuat-kusatnya.
b. ( Pelaku)
ahli fiqih, ahli hukum agama islam yang memenuhi persyaratan yang disebut
mujtahid.
c. (Lapangan) suatu masalah yang tidak
terdapat nash sorihnya dalam Al-Qur’an.
d. (Tujuan) mendapat/menemukan hukum
tentang suatu masalah.
e. (Sifat hukum) dzanny, bukan qot’ie
(dugaan kuat, bukan kepastian).
f. (Dasar/sumber) Al-Qur’an dan hadist
g. (Sistem/kaedah) menurut jalan
pikiran, logika dan metode tertentu dan teratur dalam ilmu ushul fiqih, dibantu dengan qowa’idul ahkam, al-qowaidul fiqhiyah
(kaedah-kaedah fiqih dan sebagainya).[3]
B.
Macam-Macam Ijtihat
Ijtihad menurut
tingkatan-tingkatannya secara berurutan dari yang tertinggi sampai yang paling
rendah adalah :
1.
Ijtihad
Muthlaq/Mustaqil,
Yaitu ijtihad yang dilakukan dengan cara menciptakan sendiri
norma-norma dan kaidah istinbath yang dipergunakan sebagai sistem/metode bagi
seorang mujtahid dalam menggali hukum. Norma- norma dan kaidah itu dapat
diubahnya sendiri manakala dipandang perlu. Mujtahid dari tingkatanini
contohnya seperti Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad yang
terkenal dengan sebutan Mazhab Empat.
2.
Ijtihad
Muntasib,
Yaitu ijtihad yang dilakukan seorang mujtahid dengan mempergunakan
norma-norma dan kaidah- kaidah istinbath imamnya (mujtahid muthlaq/Mustaqil).
Jadi untuk menggali hukum dari sumbernya, mereka memakai sistem atau metode
yang telah dirumuskan imamnya, tidak menciptakan sendiri. Mereka hanya berhak
menafsirkan apa yang dimaksud dari norma-norma dan kaidah-kaidah tersebut.
Contohnya, dari mazhab Syafi’i seperti Muzany dan Buwaithy. Dari
madzhab Hanafi seperti Muhammad bin Hasan dan Abu Yusuf. Sebagian ulama menilai bahwa Abu Yusuf termasuk kelompok pertama/mujtahid muthalaq/mustaqil.
madzhab Hanafi seperti Muhammad bin Hasan dan Abu Yusuf. Sebagian ulama menilai bahwa Abu Yusuf termasuk kelompok pertama/mujtahid muthalaq/mustaqil.
3.
Ijtihad
mazhab atau fatwa,
yaitu ijtihad yang dilakukan seorang mujtahid dalam lingkungan
madzhab tertentu. Pada prinsipnya mereka mengikuti norma-norma/kaidah-kaidah
istinbath imamnya, demikian juga mengenai hukum furu’/fiqih yang
telah dihasilkan imamnya. Ijtihad mereka hanya berkisar pada masalah-masalah
yang memang belum diijtihadi imamnya, men-takhrij-kan pendapat imamnya dan
menyeleksi beberapa pendapat yang dinukil dari imamnya, mana yang shahih dan
mana yang lemah.
Contohnya seperti Imam Ghazali dan Juwaini dari madzhab Syafi’i.
4.
Ijtihad di bidang tarjih,
Yaitu ijtihad yang dilakukan dengan cara mentarjih dari beberapa
pendapat yang ada baik dalam satu lingkungan madzhab tertentu maupun dari
berbagai mazhab yang ada dengan memilih mana diantara pendapat itu yang paling
kuat dalilnya atau mana yang paling sesuai dengan kemaslahatan sesuai dengan
tuntunan zaman. Dalam mazhab Syafi’i, hal itu bisa kita lihat pada Imam Nawawi
dan Imam Rafi’i. Sebagian ulama mengatakan bahwa antara kelompok ketiga dan
keempat ini sedikit sekali perbedaannya; sehingga sangat sulit untuk dibedakan.
Oleh karena itu mereka menjadikannya satu tingkatan. [4]
C. Bentuk-Bentuk
Ijtihad
Beberapa bentuk Ijtihad yang dikenal
dalam syari’at Islam adalah sebagai berikut :
Jenis-jenis ijtihad
a. Ijma’
Ijma’ artinya kesepakatan yakni kesepakatan para ulama dalam
menetapkan suatu hukum hukum dalam agama berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits dalam
suatu perkara yang terjadi. Adalah keputusan bersama yang dilakukan oleh para
ulama dengan cara ijtihad untuk kemudian dirundingkan dan disepakati. Hasil
dari ijma adalah fatwa, yaitu keputusan bersama para ulama dan ahli agama yang
berwenang untuk diikuti seluruh umat. Contohnya adalah fatwa, yaitu keputusan
bersama para ulama dan ahli agama yang berwenang untuk diikuti seluruh umat.
b. Qiyâs
Qiyas artinya menggabungkan atau menyamakan artinya
menetapkan suatu hukum suatu perkara yang baru yang belum ada pada masa
sebelumnya namun memiliki kesamaan dalah sebab, manfaat, bahaya dan berbagai
aspek dengan perkara terdahulu sehingga dihukumi sama. Dalam Islam, Ijma dan
Qiyas sifatnya darurat, bila memang terdapat hal hal yang ternyata belum
ditetapkan pada masa-masa sebelumnya. Beberapa definisi qiyâs (analogi):
1)
Menyimpulkan hukum dari yang asal menuju kepada cabangnya,
berdasarkan titik persamaan di antara keduanya.
2)
Membuktikan hukum definitif untuk yang definitif lainnya,
melalui suatu persamaan di antaranya.
3)
Tindakan menganalogikan hukum yang sudah ada penjelasan di
dalam [Al-Qur'an] atau [Hadis] dengan kasus baru yang memiliki persamaan sebab
(iladh).
Contohnya adalah pada surat Al isra
ayat 23 dikatakan bahwa perkataan ‘ah’, ‘cis’, atau ‘hus’ kepada orang tua
tidak diperbolehkan karena dianggap meremehkan atau menghina, apalagi sampai
memukul karena sama-sama menyakiti hati orang tua.
c. Istihsân
Beberapa
definisi Istihsân:
1)
Fatwa yang dikeluarkan oleh seorang fâqih (ahli
fikih), hanya karena dia merasa hal itu adalah benar.
2)
Argumentasi dalam pikiran seorang fâqih tanpa bisa
diekspresikan secara lisan olehnya.
3)
Mengganti argumen dengan fakta yang dapat diterima, untuk
maslahat orang banyak.
4)
Tindakan memutuskan suatu perkara untuk mencegah
kemudharatan.
5)
Tindakan menganalogikan suatu perkara di masyarakat terhadap
perkara yang ada sebelumnya.
Contohnya, menurut aturan syarak,
kita dilarang mengadakan jual beli yang barangnya belum ada saat terjadi akad.
Akan tetapi menurut Istihsan, syarak memberikan rukhsah (kemudahan atau
keringanan) bahwa jual beli diperbolehkan dengan system pembayaran di awal,
sedangkan barangnya dikirim kemudian.
d. Maslahah murshalah
Adalah tindakan memutuskan masalah yang tidak ada naskhnya dengan pertimbangan kepentingan
hidup manusia berdasarkan prinsip menarik manfaat dan menghindari kemudharatan.
Contohnya, dalam Al Quran maupun Hadist tidak terdapat dalil yang memerintahkan
untuk membukukan ayat-ayat Al Quran. Akan tetapi, hal ini dilakukan oleh umat
Islam demi kemaslahatan umat.
e. Sududz Dzariah
Adalah tindakan memutuskan suatu yang mubah menjadi makruh
atau haram demi kepentinagn umat.
f.
Istishab
Adalah tindakan menetapkan berlakunya suatu ketetapan sampai
ada alasan yang bisa mengubahnya. Contohnya, seseorang yang ragu-ragu apakah ia
sudah berwudhu atau belum. Di saat seperti ini, ia harus berpegang atau yakin
kepada keadaan sebelum berwudhu sehingga ia harus berwudhu kembali karena
shalat tidak sah bila tidak berwudhu.
g. Urf
Adalah tindakan menentukan masih bolehnya suatu
adat-istiadat dan kebiasaan masyarakat setempat selama kegiatan tersebut tidak
bertentangan dengan aturan-aturan prinsipal dalam Alquran dan Hadis. Contohnya
dalah dalam hal jual beli. Si pembeli menyerahkan uang sebagai pembayaran atas
barang yang telah diambilnya tanpa mengadakan ijab kabul karena harga telah
dimaklumi bersama antara penjual dan pembeli. [5]
D.
Syarat-Syarat Ijtihat
Untuk menghindari kesalahan dalam berijtihad dibutuhkan
kejujuran intelektual, ikhlas dan memiliki pengetahuan yang cukup tentang
seluk beluk masalah ijtihad. Untuk melakukan ijtihad seseorang harus memenuhi
syarat-syarat tertentu yang bisa membawa ke derajat mujtahid.
Adapun syarat-syarat ijtihad yang hampir selalu
disebut-sebut oleh umumnya para ulama ushul, yaitu :
1. Berpengetahuan
luas tentang Al-Qur’an dan Ulumul-Qur’an (ilmu-ilmu Al-Qur’an) serta segala
yang terkait, teristimewa dalam masalah hukum.
2. Memiliki ilmu yang cukup dalam mengenai
hadits, terutama soal hukum dan mengetahui sumber hukum, sejarah, maksud
hubungan hadits2 itu dengan hukum-hukum Al-Qur’an.
3. Menguasai
masalah-masalah atau tema tema pokok yang hukumnya telah ditunjukkan oleh Ijma’
Sahabat dan ulama Salaf (2 generasi setelah para sahabat Rasulullah SAW).
4. Mempunyai
wawasan luas tentang Qiyas dan dapat menggunakannya untuk Istimbath (menggali dan
menarik kesimpulan) hukum.
5. Menguasai ilmu
Ushuluddin (Dasar-dasar ilmu agama), Ilmu Manthiq (ilmu logika), Bahasa Arab
dari segala seginya (Nahwu, Sharaf, Balaghah dsb), dengan cukup sempurna.
6. Punya
pengetahuan luas tentang Nasikh-Mansukh (yang menghapus dan yang dihapus) dalam
Al-Qur’an, Asbabun Nuzul (sebab-sebab turunnya Al-Qur’an) dan tertib turunnya
ayat.
7. Mengetahui
secara mendalam Asbabul Wurud (sebab-sebab turun) hadits, ilmu riwayat hadits,
dan sejarah para perawi hadits, dan dapat membedakan berbagai macam hadits.
8. Menguasai
kaidah-kaidah Ushul Fiqh (Dasar-dasar pemahaman hukum).
9. Berpengetahuan
lengkap mengenai lima aliran pemikiran dan mempunyai pemahaman kesadaran yang
menyeluruh atas realita masa kini, yakni mekanisme, ilmu dan teknologi,
cara-cara kerja dari sistem politik dan ekonomi modern, serta kesadaran akan
hubungan dan pengaruh mereka terhadap masyarakat budaya dan lingkungan.
10. Harus bersifat
adil dan taqwa, hidup dalam kesalehan dan kedisiplinan, serta mengenal manusia
dan alam sekitarnya. [6]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Ijtihad adalah
suatu pekerjaan yang mempergunakan segala kesanggupan daya rohani untuk
mendapatkan hukum syara’ atau menyusun suatu pendapat dari suatu masalah hukum
yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits. Ide ijtihad ini mempunyai dasar pada ayat al-qur’an yang
menyatakan:
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا
وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِين
“Dan
orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami. Kami akan tunjukkan
kepada mereka jalan-jalan kami. Dan sungguh, Allah beserta orang-orang yang
berbuat baik” (QS Al Ankabut: 69)
Masalah ijtihad sebenarnya bukan masalah mau atau tidak
mau, tetapi persoalan mampu atau tidak mampu. Untuk melakukan ijtihad seseorang
harus memenuhi syarat-syarat tertentu.
B.
Saran
Demikian
makalah Ijtihad dalam mata kuliah Ushul Fiqih, yang tentunya masih jauh dari
kesempurnaan. Kami sadar bahwa ini merupakan proses dalam menempuh
pembelajaran, untuk itu kami mengharapkan kritik serta saran yang membangun
demi kesempurnaan hasil diskusi kami. Harapan kami semoga dapat dijadikan suatu
ilmu yang bermanfaat bagi kita semua, Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Mukti Ali, Ijtihad
dalam Pandangan Islam (Jakarta: PT Bulan
Bintang, 1990)
Amir Mu’allim
Yusdani, Ijtihad dan legislasi, (Yogyakarta: UII PRESS. 2004
Achmad, Hukum Islam ( Jember: Fakultas Hukum
UNEJ, 1999)
Anwar, Junaidi. Pendidikan Agama Islam Lentera Kehidupan
(Jakarta: Yudistira, 2007)
Ash-shiddiq, Hasbi, Pengantar Hukum Islam jilid I, (Yokyakarta:
PT Bulan Bintang, 2000)
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu
Ushul Fiqh, (Semarang: Toha Putra Group. 1994),
Tidak ada komentar:
Posting Komentar